Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi asing karena tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri, kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
"Oleh karena itu, kebudayaan yang tidak menyatu dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri," katanya pada kongres pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin (7/5).
Menurut dia, pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran.
Namun demikian, kata dia, pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum, karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan.
"Dengan demikian, perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan," kata Sultan.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Malik Fadjar mengatakan, perwujudan atau aplikasi spiritualisasi watak kebangsaan dari sudut pandang pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan perlu pendekatan yang luwes dan luas.
"Luwes dalam arti tidak mengarah kepada penyeragaman dan tidak bersifat indoktrinatif, dan luas dalam arti mencakup berbagai aspek kehidupan dengan segala kemajemukannya," kata Malik.
Dosen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta Kunjana Rahardi mengatakan, pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara.
Menurut dia, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Pendidikan idealnya memanusiakan manusia.
"Jika bisa konsisten menerapkan pendidikan nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti bisa menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila," kata Kunjana. (Ant/ICH)
"Oleh karena itu, kebudayaan yang tidak menyatu dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri," katanya pada kongres pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin (7/5).
Menurut dia, pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran.
Namun demikian, kata dia, pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum, karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan.
"Dengan demikian, perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan," kata Sultan.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Malik Fadjar mengatakan, perwujudan atau aplikasi spiritualisasi watak kebangsaan dari sudut pandang pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan perlu pendekatan yang luwes dan luas.
"Luwes dalam arti tidak mengarah kepada penyeragaman dan tidak bersifat indoktrinatif, dan luas dalam arti mencakup berbagai aspek kehidupan dengan segala kemajemukannya," kata Malik.
Dosen Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta Kunjana Rahardi mengatakan, pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara.
Menurut dia, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. Pendidikan idealnya memanusiakan manusia.
"Jika bisa konsisten menerapkan pendidikan nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti bisa menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila," kata Kunjana. (Ant/ICH)
(sumber: Metrotv)
Posting Komentar
Terimakasih atas Kunjungan anda di blog BEM STKIP Hamzanwadi Selong